beginilah nasib kalo orang musti mepet2 dulu baru ngerjain..belom mepet gak bisa ngerjain..hikss sebenernya ini musti dikumpulin tanggal 29 agustus, tapi yah tapi gw baru selesai ngerjain tanggal 31 jam 02.00..ini mah bukan deadliner lagi ya namanya..tapi gara2 gw udah ngerencanain esai ini buat kerjaan bulan agustus, gw ngotot tetep ngerjain walo uda lewat deadline..dikirim pula..hehe..mas2 tikinya ampe berdecak kagum (kagum apa ngetawain tau deh) pas tau mustinya ini gw kirim tanggal 29..
gw sangat amat tidak bisa buat bikin esai2an..belom banyak pengalaman mungkin..esai gw yang ini aja, yang cuma seemprit, gw selesaiin 1 minggu ampir 2 minggu malah itu juga udah dibantu sono-sini..apalagi yang ini yang berhalaman2, mungkin mustinya gw mulai bikin dari awal bulan kemaren ><. sebenernya agak males kirim, soalnya gw gak suka ama hasilnya..setelah gw baca2..kok esai gw jadi menyerupai tipe2 cerpen korea, alur gak jelas, lompat sana-sini, tiba2 ngomongin ini, tiba2 bahas itu..haahhh namanya juga hasil begadangan semalem doang..bodolahhh..nothing to loose (yaiyalaahh mau ngarep apalagi..ngirim telat, isi amburadul..lupakan sajalah..)
SEGURAT PERJALANAN MENYUSURI KOREA
PADA 6 ZAMAN BERBEDA
PENDAHULUAN
Tiga tahun yang lalu ada sebuah drama Korea “Full House” yang booming dan menjadi awal dari “demam Korea” di Indonesia. Tapi sungguh baru dua tahun yang lalu, ketika drama Korea lainnya, “Princess Hours”, kembali booming dan akhirnya menarik minat saya untuk mengetahui kebudayaan Korea lebih lanjut. Dari browsing internet, menonton video-video acara di Korea dari streaming site, ikut aktif di forum bahkan sampai berkorespondensi dengan orang Korea langsung. Jujur saja, ini adalah kali pertama saya mencoba menilik Korea dari sisi yang lain, cerpen. Buku kumpulan cerpen Korea Laut dan Kupu-Kupu ini akan menjadi karya sastra pertama yang menjadi media baru pengenal kebudayaan Korea. Sudah terbiasa mendapat penjelasan visual dan sekarang dihadapkan untuk menggali kebudayaan Korea dengan cara lain merupakan tantangan baru bagi saya.
Mengutip kata pengantar yang diberikan oleh Maman S. Mahayana yang mengungkapkan bahwa “ …sastra merupakan ekspresi kegelisahan pikiran dan perasaan manusia individu pengarang yang mengungkapkan peri kehidupan masyarakat di sekelilingnya, memantulkan potret zamannya, dan menegaskan harapan-harapan, visi, obsesi, atau bahkan kecemasan tentang masa kehidupan masyarakatnya, maka sesungguhnya sastra dapat digunakan sebagai pintu masuk mempelajari dan memahami kebudayaan suatu bangsa.” (hal ix), semoga hal yang disampaikan tersebut benar-benar dapat memenuhi keingingintahuan saya terhadap budaya Korea. Sejauh mana karya sastra, sebagai media baru bagi saya dalam mengenal budaya, dapat menjembatani proses transfer kebudayaan tersebut? Seperti apa perjalanan menyusuri Korea melalui karya sastra saya lalui?
PERJALANAN PENYUSURAN KOREA
“Dua Generasi Pertama” menjadi cerpen yang memulai perjalanan penyusuran Korea. Ha Geun Chan membuat tulisan ini pada pertengahan tahun 50-an dimana pada saat itu baru saja selesai perang secara fisik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sangat tergambar bagaimana hasil buruk dari perang terjadi pada dua generasi sekaligus. Park Mando sebagai generasi pertama mendapat luka perang yang diakibatkan oleh agresi Jepang ke Korea sebelum liberalisasi Korea terjadi, sedangkan Jinsu anaknya, mendapat luka perang yang diakibatkan oleh perang dengan saudara mereka sendiri yaitu Korea Utara. Membaca cerpen ini sebagai permulaan memberikan energi tersendiri bagi saya. Menurut saya cerpen ini adalah cerpen terbaik dalam buku ini. Alur yang mudah dimengerti, penceritaan keadaan-keadaan yang detil tapi tidak membosankan, yang pada akhirnya cerpen ini bisa memberikan suatu nilai untuk dipetik.
“Dua Generasi Teraniaya” dengan lihainya menempatkan diri di hati saya. Membaca cerpen ini memberikan perasaan haru bagaimana seorang ayah tetap berusaha tegar dan memiliki pikiran positif untuk menjalani masa depan dengan segala kekurangan yang ada. Cerpen ini juga mengingatkan bagaimana Indonesia juga memiliki kondisi yang sama dengan Korea pada saat itu. Sebelum Korea mendeklarasikan liberalisasi dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, kedua negara ini sedang dibawah kekuasaan Jepang. Kondisi yang dialami oleh masyarakatnya pun sama, yaitu sama-sama harus melakukan kerja rodi dan tidak dapat dipungkiri pasti ada yang mendapatkan kekurangan fisik yang sama dari tragedi tersebut. Begitu pula setelah merdeka, Korea setelah liberalisasi ternyata masih harus merasakan pahitnya berperang dengan saudara mereka sendiri, sedangkan Indonesia setelah kemerdekaan masih juga harus disibukan dengan agresi militer dan perang-perang di berbagai daerah.
Sama halnya dengan cerpen karya Jeon Sung Tae “ Menyeberangi Perbatasan”, walaupun dibuat dalam zaman yang berbeda, cerpen ini memiliki latar cerita yang hampir sama, yaitu luka akibat perang. Bedanya “Dua Generasi Teraniya” menggambarkan bagaimana suatu perang akan menghasilkan luka secara fisik yang akan berhenti pada generasi itu saja, sedangkan pada “Menyeberangi Perbatasan” diperlihatkan bagaimana pada perang itu akan menghasilkan luka mental yaitu rasa trauma yang tidak akan berhenti pada generasi tersebut, tapi akan terus turun ke generasi-generasi sesudahnya.
Meskipun tidak berlatar belakang perbatasan antara dua negara Korea, tetapi penulis berhasil menyampaikan bagaimana rasa trauma yang dirasakan oleh warga Korea ketika dihadapkan dengan proses melintasi perbatasan. Saat-saat yang menggambarkan Park melintasi perbatasan mengingatkan saya pada sebuah reality show di Korea yang berjudul 1 Night 2 Days yang ditayangkan 1 bulan yang lalu. Pada episode tersebut diceritakan betapa mereka (warga Korea Selatan) harus berputar ke China untuk mencapai Gunung Baek Du (Baek Du San) yang mana sebagian wilayahnya ada di Korea Utara. Betapa sedihnya mereka jika mengingat orang lain selain warga negara Korea Selatan boleh menginjakkan kaki di Korea Utara dengan mudahnya. Betapa mirisnya hati mereka karena beberapa dari mereka tidak lagi mengetahui bagaimana kondisi keluarga lainnya karena terpisah ketika perang Korea. Dan yang membuat lebih tragis adalah ketika mereka mengetahui bahwa mereka tidak boleh menyapa atau berteriak kepada nelayan Korea Utara yang jaraknya hanya 100 meter yang mereka temui di Shinuiju (perbatasan antara China dan Korea Utara). Banyak dari warga negara Korea yang menangis menonton episode itu dan akhirnya saya baru mengerti bagaimana hal itu sangat menyedihkan, setelah membaca cerpen ini yang menggambarkan bahwa ternyata perang Korea selain menyisakan kerinduan yang sangat untuk dapat bersatu tetapi juga menorehkan trauma yang dalam bagi setiap warga Korea.
Bergerak ke tahun 60-an, mulai periode ini cerpen-cerpennya agak sulit dan membingungkan untuk dicerna. “Seoul Musim Dingin 1964” memperlihatkan bahwa sonsuljip adalah tempat yang biasa digunakan warga Korea untuk melampiaskan kepenatan mereka. Hal positif yang digambarkan disini adalah walaupun tidak saling kenal, tetapi warga Korea mau menolong sesamanya ketika sedang ditimpa musibah. Ending yang menceritakan bahwa pada akhirnya si Lemah melakukan bunuh diri karena tidak tahan menanggung beban pikiran menjadi sorotan bagi saya. Kejadian bunuh diri seperti hal yang sudah biasa terjadi disana, bahkan menurut sumber yang saya dapat Korea merupakan negara ketiga untuk tingkat bunuh diri di dunia. Pada minggu ini (tepatnya 28 Agustus 2008) diberitakan bahwa ada seorang pekerja Korea yang bunuh diri karena mengalami stress kerja. Saat ini Korea memiliki kondisi perekonomian yang sangat baik, begitu pula pada periode tahun 1960-1970 dimana Korea mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang masa itu dikenal dengan sebutan “The Miracle of Hangang River”. Masih tersisa pertanyaan di benak, mengapa pada kondisi perekonomian yang begitu cemerlang, bunuh diri masih saja terjadi.
Dua cerpen berikutnya, yaitu “ Jalan ke Sampho” dan “Bung Kim di Kampung Kami” menggambarkan bagaimana pada periode tahun 70-an sedang terjadi perubahan secara besar-besaran, industrialisasi digalakan. Pada “Jalan ke Sampho”, keinginan Young Dal untuk dapat melihat kampung halamannya tidak dapat dipenuhi. Hanya dalam jangka waktu 10 tahun, kampung nelayannya telah disulap menjadi lokasi-lokasi pariwisata. Sedangkan dalam “Bung Kim di Kampung Kami” sangat tergambar bagaimana proses industrialisasi sudah masuk ke desa-desa dengan digunakannya pompa air sebagai alat untuk pengairan dan sudah adanya motor sebagai alat transportasi di desa tersebut. Tapi lagi-lagi kedua cerpen ini agak membingungkan karena penceritaan yang cukup detil tapi melompat kesana-sini. Model penulisannya pun hampir sama yaitu panjang di awal dan tiba-tiba klimaks di akhir yang berhenti begitu saja, bahkan untuk “Bung Kim di Kampung Kami” agak bingung bagi saya untuk menentukan mana klimaksnya, karena setiap hal yang dibicarakan seperti masalah yang hanya ditumpuk saja tanpa ada akhirnya.
Tahun 80-an adalah masa gerakan rakyat nasionalis. Pembunuhan presiden Park pada tahun 1979 menjadi awal dimulainya zaman baru. Kelimbungan di tingkat elit politik mengakibatkan maraknya gerakan nasionalis di Korea. “ Dinihari ke Garis Depan”, “Sungai Dalam Mengalir Jauh”, dan “ Kerja, Nasi, Kebebasan” menggambarkan kondisi saat itu dengan baik. “Dinihari ke Garis Depan” mengingatkan saya bagaimana buruh disini sampai saat ini masih harus berjuang untuk menuntut hak-hak mereka agar dapat diperlakukan lebih layak. Untuk kesusastraan Indonesia, cerpen ini sudah bisa dikategorikan sebagai novelet. “Dinihari ke Garis Depan” terlalu panjang untuk disebut cerpen, membacanya pun membuat saya “terengah-engah” karena banyak lompatan-lompatan alur begitu juga masuknya tokoh baru yang agak membingungkan.
Mulai tahun 90-an terlihat jenis-jenis cerpen yang dihasilkan lebih bersifat imajinatif. “Laut dan Kupu-Kupu”, setelah dua kali membacanya sampai sekarang saya masih belum dapat memperoleh apa maksud sebenarnya dari cerpen ini. Diawali dengan kesalahan imajinasi saya terhadap gender dari tokoh “saya” yang baru dapat disadari setelah membaca 8 halaman cerpen tersebut, sampai pada ending yang membuat saya terbengong “kenapa jadi kupu-kupu?”. Hal ini juga terjadi pada “ Betulkah? Saya Jerapah”. Masih belum terpecahkan sampai sekarang mengapa ada tokoh jerapah berpakaian jas. Tapi setelah menyelesaikan buku ini, ada satu hal yang harus dilakukan ketika membaca cerpen Korea, yaitu jangan terlalu berpikir dan berhenti pada titik yang menurut kita aneh dan membingungkan, teruskan saja, pada akhirnya kita akan mendapat gambaran yang utuh walau terkadang masih buram juga.
Hal yang cukup dominan yang dapat dilihat sebagai keseharian orang Korea dari zaman ke zaman adalah kebiasaan minum-minum dan merokok. Hampir di setiap cerpen ada saja kegiatan minum-minum atau merokok, sepertinya kedua hal tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Korea tiap zamannya. Umpatan yang cukup kasar yang diucapkan oleh seorang perempuan juga cukup sering terjadi, sampai terpikir apakah ini hanya pengarang yang terlalu hiperbola dalam menggunakan bahasa atau memang begitulah keseharian yang terjadi. Selain itu salah satu ciri lain yang dapat saya lihat dari cerpen Korea ini adalah penggunaan bahasa yang gamblang dan cara penceritaan yang teramat detil yang terkadang bisa sangat mengganggu, seperti “ Mando mengeluarkan ingus dengan menekankan jempolnya ke salah satu lubang hidung.” (hal 2) atau “Air kencingnya mengalir dan buihnya mengalun. Sementara itu, ikan-ikan berseliweran di antara buih kencingnya.” (hal 3).
UNSUR-UNSUR LAIN DI DALAM CERPEN KOREA
Hal yang paling dirasakan berbeda dari cerpen-cerpen Korea ini adalah, tidak adanya akhir cerita yang menutup konflik. Hampir semua cerita dibiarkan menyisakan konflik yang belum usai, tak seperti dalam kebanyakan sastra Melayu atau Barat. Cerpen-cerpen Korea ini tidak memiliki alur eskalasi konflik yang biasa ada dalam prosa, yakni rendah, naik, dan pada akhirnya turun. Cerpen-cerpen Korea cenderung terus menambah konflik sehingga pada akhir cerita, konflik tetap dibiarkan menumpuk. Kalaupun dikatakan tak terus menambah konflik, alur cerita dalam cerpen-cerpen ini melompat-lompat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya tanpa hubungan yang jelas, satu masalah di satu kejadian belum selesai, cerita sudah meloncat ke kejadian lainnya. Hal itu membuat pembaca seperti saya, yang tak biasa dengan gaya cerita ala Korea, menjadi bingung.
Sekalipun kebanyakan gaya penceritaan cerpen-cerpen Korea begitu lugas dan gamblang, namun penggunaan metafora dan unsur yang cenderung misterius/mistis, tetap terasa pada cerita “Kisah Singkat tentang Pekarangan”, “Laut dan Kupu-kupu”, dan “Benarkah? Saya Jerapah”. Pada cerita-cerita tersebut terdapat tokoh-tokoh yang entah memang mistis ataupun hanya sekedar kiasan dari sesuatu. Tokoh gadis kecil yang membawa ayam dalam cerita “Kisah Singkat tentang Pekarangan” merupakan kerinduan sang tokoh utama terhadap suasana pedesaan yang kini tak dapat ia temukan lagi. Kupu-kupu dalam “Laut dan Kupu-kupu” merupakan gambaran dari pelarian sang suami dari istrinya setelah ia melepaskan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah. Sedangkan, jerapah dalam “Benarkah? Saya jerapah”, masih merupakan metafora yang terlalu sulit untuk diartikan.
Lain padang lain belalang, cerpen-cerpen Korea tentu saja banyak menggunakan segala hal yang berasal dari Korea. Unsur-unsur ekstrinsik seperti makanan, satuan-satuan ukur, dan latar-latar tempat di Korea, tentu saja banyak menghiasi bagian dari cerpen-cerpen ini. Bagi saya, orang yang masih awam terhadap bahasa Korea, ada beberapa nama makanan seperti odeng, gukbab, sayur wogoji, sujebi yang menjadi sebuah khazanah baru dalam pengetahuan bahasa saya. Selain itu, ada juga pyong, majigi, baimi, goma dan ri yang merupakan satuan ukur tradisional masyarakat Korea. Belum lagi, nama-nama tempat/wilayah berikut dengan penggambarannya, semakin membuat saya begitu penasaran untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut.
PENUTUP
Menutup lembar terakhir buku ini sedikit meninggalkan kekecewaan di hati saya. Sungguh tinggi ekspektasi di awal memulai membacanya, tetapi pada akhirnya ekspektasi itu tidak dapat dipenuhi karena banyak kebingungan yang saya dapat pada beberapa tempat. Alur yang acap kali lompat kesana-kemari, masuknya tokoh yang terkadang seperti tidak beralasan, dan ending yang tidak berhenti pada penyelesaian masalah menjadi faktor yang membuat saya mengernyitkan dahi dalam proses membaca. Tetapi walau begitu, kumpulan cerpen ini telah memberikan warna lain dalam pemahaman terhadap kebudayaan Korea. Sebagai media baru bagi saya untuk mengenal Korea, buku ini telah memberikan banyak hal baru tentang negeri ginseng tersebut, seperti sejarah, jenis makanan, setting daerah pada tiap zamannya, cara berinteraksi sesama manusia, keadaan ekonomi, dan yang paling penting karena buku ini mencakup seluruh karya sastra dari 6 zaman berbeda kita dapat melihat bagaimana perkembangan kehidupan dari masa kemerdekaan sampai sekarang.
Dari perjalanan penyusuran Korea ini, terlihat bahwa Indonesia memiliki sejarah yang hampir sama dengan Korea. Merdeka dari Jepang di periode 40-an, mengalami perang setelah kemerdekaan di tahun 50-an, zaman industrialisasi pada tahun 70-an, dan sama-sama mengalami kejatuhan ekonomi akibat krisis global pada tahun 1997. Tetapi sekarang Korea dapat jauh memimpin di atas kita, sudah selayaknya Indonesia pun dapat mencapai hasil yang diraih Korea saat ini. Jika kita mau mengadopsi semangat kerja keras dan pantang menyerah yang dimiliki orang Korea, saya yakin Indonesia akan bisa mencapai hasil yang sama. Semoga saya dapat melihat sisi unik Korea dari karya sastra lainnya. Bravo kesusastraan Korea dan pada akhirnya saya menaruh harapan yang besar agar kedua negara Korea dapat bersatu secepatnya..Daehamingguk Fighting!!
Oleh : Andini Pratiwi
Sumber : Kumpulan Cerpen Korea Laut dan Kupu-Kupu, Facts About Korea
Good job unni…. ^^
yayayaaa..unni you are older than me,why you call me unni..><
Nah tuh lu bisa Din, bagus kok.
But personally, gua lebih suka baca intronya* daripada esainya.
Lain kali jangan lewat deadline ya Bu!
*: intronya lu bgt Din ^^
“..esai gw jadi menyerupai tipe2 cerpen korea, alur gak jelas, lompat sana-sini, tiba2 ngomongin ini, tiba2 bahas itu..haahhh namanya juga hasil begadangan semalem doang..bodolahhh..nothing to loose (yaiyalaahh mau ngarep apalagi..ngirim telat, isi amburadul..lupakan sajalah..)”
Kayaknya lu harus nulis post lagi dengan judul “Deadliner Sejati..”
But, this time u made it on time.
iya nih..dah kapok deadline2 mulu..capeeekkk
nah ini dia yang gua cari2..
ini dari buku apa ya?
pengen gua masukkin ke blog gua..